Sunday 26 March 2017

Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Barat dan Islam


           1. SEJARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Ketika itu gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen.
YLKI berdiri ketika kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri, namun seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan kepada masyarakat atau konsumen.
Waktu sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah Undang-Undang tentang perlindungan konsumen dilakukan selama bertahun-tahun. Masa Orde Baru, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki greget besar untuk mewujudkannya karena terbukti pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) selalu ditunda. Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya UU tentang Perlindungan Konsumen bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan BJ Habibie, tepatnya tanggal 20 April 1999, RUUPK secara resmi disahkan sebagai UU tentang Perlindungan Konsumen, dan  dengan adanya UU tentang Perlindungan Konsumen jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan kedalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen, yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.
Tanggal 20 April 1999 Pemerintah Indonesia telah mensahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan kewajiban-kewajibannya yang dimiliki terhadap pelaku usaha. Sebagaimana tertera dalam konsiderans Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta menumbuh-kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab.
Urusan perlindungan konsumen ternyata sangat beragam dan begitu pelik. Konsumen tidak hanya dihadapkan pada suatu keadaan untuk memilih yang terbaik bagi dirinya, melainkan juga pada keadaan tidak dapat memilih karena adanya praktek “monopoli” oleh satu atau lebih pelaku usaha atas kebutuhan utama/vital konsumen dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Berbagai penguasaan atau monopoli atas kepentingan-kepentingan yang meliputi hajat hidup orang banyak oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sedikit banyak turut memperburuk pengejawantahan hak-hak konsumen dalam praktek.
Konsumen seringkali dihadapkan pada persoalan ketidak-mengertian dirinya ataupun ketidak-jelasan akan pemanfaatan, penggunaan maupun pemakaian barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha, karena kurang atau terbatasnya informasi yang disediakan. Selain itu, konsumen juga seringkali dihadapkan pada bargaining position yang sangat tidak seimbang (posisi konsumen sangat lemah dibanding pelaku usaha). Hal tersebut tercermin dalam perjanjian baku yang sudah disiapkan secara sepihak oleh pelaku usaha dan konsumen harus menerima serta menandatanganinya tanpa bisa ditawar-tawar lagi atau “Take it or leave it”.
Berdasarkan kondisi tersebut, upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting, namun pemberdayaan konsumen akan sulit terwujud jika kita mengharapkan kesadaran pelaku usaha terlebih dahulu. Hal tersebut dikarenakan pelaku usaha dalam menjalankan usahanya menggunakan prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Artinya, dengan pemikiran umum seperti itu sangat mingkin konsumen akan dirugikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Adanya UU tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha. UU tentang Perlindungan Konsumen justru bisa mendorong iklim usaha yang sehat serta mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang ada dengan menyediakan barang/jasa yang berkualitas. Penjelasan umum UU tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa dalam pelaksanaannya akan tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah.
2. SEJARAH HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI BARAT
Tumbuhnya sistem perlindungan konsumen seiring dengan tumbuh dan berkembangnya pola perekonomian yang  makin lama makin pesat.[1][8] Perhatian terhadap perlindungan konsumen, terutama di Amerika Serikat (1960-1970-an) mengalami perkembangan yang sangat signifikan da menjadi objek kajian bidang ekonomi, sosial, politik dan hukum. Banyak sekali artikel dan buku ditulis berkenaan dengan gerakan ini. Di Amerika Serikat bahkan pada era tahun-tahun tersebut berhasil diundangkan banyak peraturan dan dijatuhkan putusan-putusan hakim yang memperkuat kedudukan consumen.[2][9]
Secara umum, sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empat tahapan.
a)   Tahapan I (1881-1914)
Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masyarakat untuk melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria massal akibat novel karya Upton Sinclair berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang sangat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
b)   Tahapan II ( 1920-1940)
Pada kurun waktu ini pula muncul buku berjudul Your Money’s Worth karya Chase dan Schlink. Karya ini mampu menggugah konsumen atas hak-hak mereka dalam jual beli. Pada kurun waktu ini muncul slogan: fair deal, best buy.
c)   Tahapan III (1950-1960)
Pada dekade 1950-an  muncul keinginan untuk mempersatuakan gerakan perlindungan konsumen dalam lingkup internasional. Dengan diprakarsai oleh wakil-wakil gerakan konsumen di Amerika Serikat. Inggris, Belanda, Australia dan Belgia, pada 1 April 1960 berdirilah International Organization of Consumer Union. Semula organisasi ini berpusat di Den Haag, Belanda, lalu pindah ke London, Inggris, pada 1993. Dua tahun kemudian IOCU mengubah namanya menjadi Consumen International (CI).
d)   Tahapan IV (pasca-1965)
Pasca 1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik tingkat regional maupun tingkat  internasional. Sampai saat ini dibentuk lima kantor regional, yakni Amerika Latin dan Karibia berpusat di Cile, Asia Fasifik berpusat di Malasyia, Afrika Berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah berpusat di inggris dan negara-negara maju juga berpusat di London, Inggris.
Sejak ratusan tahun yang lalu, di beberapa negara Eropa seperti Inggris, Perancis dan Jerman, sudah sangat dikenal ungkapan “jangan racuni roti tetanggamu” atau “caveat emptor” (berhati-hatilah, konsumen). Konsep ini masih terasa sangat bermanfaat karena kala itu jarak antara konsumen dan produsen masih dekat dan proses perekonomian belum serumit sekarang.
John F Kennedy dianggap sebagai pelopor gerakan konsumen modern. Tanggal 15 Maret 1963, dalam pidatonya di depan publik AS, Kennedy menjabarkan 4 (empat) hak yang dimiliki konsumen, yaitu: the right to safety (hak atas keamanan), the right to be informed (hak atas informasi), the right to choose (hak untuk memilih) dan the right to be heard (hak untuk didengarkan). Untuk mengabadikan peristiwa ini, Consumers International menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Hak Konsumen Sedunia. Substansi pidato JFK itu kemudian menginspirasi International Organizations of Consumers Union (IOCU, kini berganti nama menjadi Consumers International/CI) untuk menguraikannya menjadi 8 (delapan) hak konsumen. Lihat: Hak dan Tanggung Jawab Konsumen.
Pada 9 April 1985, Majelis Umum PBB memasukkan hak-hak dasar konsumen tersebut ke dalam “United Nation Guidelines for Consumer Protection”, yaitu panduan dasar bagi negara-negara anggota PBB untuk membuat kebijakan perlindungan konsumen di semua negara anggota PBB.

          3. SEJARAH HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM ISLAM
Perlindungan atas Konsumen merupakan hal yang sangat penting dalam hukum Islam.Islam melihat sebuah perlindungan konsumen bukan sebagai hubungan keperdataan semata melainkan menyangkut kepentingan publik secara luas, bahkan menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Dalam konsep hukum Islam perlindungan atas tubuh berkait dengan hubungan vertikal (Manusia dengan Allah) dan horizontal (Sesama manusia).
Dalam Islam melindungi manusia dan juga masyarakat sudah merupakan kewajiban negara sehingga melindungi konsumen atas barang-barang yang sesuai dengan kaidah Islam harus diperhatikan.
Menurut hemat penulis didalam islam tidak ada sejarah pergerakan perlindungan konsumen seperti yang terdapat di Indonesia maupun Barat dan juga tidak ada aturan secara eksplisit menyebut istilah konsumen, namun bila kita cermati beberapa ayat Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad Saw., maka secara tidak langsung kita akan menemukan beberapa ayat maupun hadits yang sifatnya sedikit mengarah kepada perlindungan konsumen.
1.      Tentang Riba
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.[3][3]
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.[4][4]
Hadits No. 850:
Jabir Radliyallaahu’anhu berkata: Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: “Mereka itu sama”. (Riwayat Muslim).[5][5]

2.      Tentang Khamar
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.[6][6]

3.      Tentang Jual Beli
Hadits No. 849:
“Ibnu Umar RA berkata: ada seseorang mengadu kepada Rasulullah Saw bahwa ia tertipu dalam jual beli. Lalu beliau bersabda : “Jika engkau berjual-beli katakanla: Jangan melakukan tipu daya”. (Muttafaq Alaihi).[7][7]
Dari beberapa ayat Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW., yang kami tuliskan diatas memberikan indikasi bahwa didalam islam terdapat aturan tentang perlindungan konsumen walaupun tidak secara langsung menggunakan  istilah konsumen.