1. SEJARAH
PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
Masalah
perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal
ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada
bulan Mei 1973. Ketika itu gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara
luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti
pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen.
YLKI
berdiri ketika kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayangi
dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri, namun seiring perkembangan
waktu, gerakan perlindungan konsumen dilakukan melalui koridor hukum yang
resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan kepada masyarakat atau konsumen.
Waktu
sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah
Undang-Undang tentang perlindungan konsumen dilakukan selama bertahun-tahun.
Masa Orde Baru, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki
greget besar untuk mewujudkannya karena terbukti pengesahan Rancangan
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) selalu ditunda. Baru pada
era reformasi, keinginan terwujudnya UU tentang Perlindungan Konsumen bisa terpenuhi.
Pada masa pemerintahan BJ Habibie, tepatnya tanggal 20 April 1999, RUUPK secara
resmi disahkan sebagai UU tentang Perlindungan Konsumen, dan dengan
adanya UU tentang Perlindungan Konsumen jaminan atas perlindungan hak-hak
konsumen di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah
perlindungan konsumen kemudian ditempatkan kedalam koridor suatu sistem hukum
perlindungan konsumen, yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.
Tanggal
20 April 1999 Pemerintah Indonesia telah mensahkan dan mengundangkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang
Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk
lebih menyadari akan segala hak-hak dan kewajiban-kewajibannya yang dimiliki
terhadap pelaku usaha. Sebagaimana tertera dalam konsiderans Undang-Undang
tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan harkat
dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian,
kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta
menumbuh-kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab.
Urusan
perlindungan konsumen ternyata sangat beragam dan begitu pelik. Konsumen tidak
hanya dihadapkan pada suatu keadaan untuk memilih yang terbaik bagi dirinya,
melainkan juga pada keadaan tidak dapat memilih karena adanya praktek
“monopoli” oleh satu atau lebih pelaku usaha atas kebutuhan utama/vital
konsumen dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Berbagai penguasaan atau
monopoli atas kepentingan-kepentingan yang meliputi hajat hidup orang banyak
oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
sedikit banyak turut memperburuk pengejawantahan hak-hak konsumen dalam
praktek.
Konsumen
seringkali dihadapkan pada persoalan ketidak-mengertian dirinya ataupun
ketidak-jelasan akan pemanfaatan, penggunaan maupun pemakaian barang dan/atau
jasa yang disediakan oleh pelaku usaha, karena kurang atau terbatasnya
informasi yang disediakan. Selain itu, konsumen juga seringkali dihadapkan pada
bargaining position yang sangat tidak seimbang (posisi konsumen sangat
lemah dibanding pelaku usaha). Hal tersebut tercermin dalam perjanjian baku
yang sudah disiapkan secara sepihak oleh pelaku usaha dan konsumen harus
menerima serta menandatanganinya tanpa bisa ditawar-tawar lagi atau “Take
it or leave it”.
Berdasarkan
kondisi tersebut, upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting, namun
pemberdayaan konsumen akan sulit terwujud jika kita mengharapkan kesadaran
pelaku usaha terlebih dahulu. Hal tersebut dikarenakan pelaku usaha dalam
menjalankan usahanya menggunakan prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Artinya, dengan pemikiran umum
seperti itu sangat mingkin konsumen akan dirugikan, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Adanya UU tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur
perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku
usaha. UU tentang Perlindungan Konsumen justru bisa mendorong iklim usaha yang
sehat serta mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi
persaingan yang ada dengan menyediakan barang/jasa yang berkualitas. Penjelasan
umum UU tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa dalam pelaksanaannya
akan tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah.
2. SEJARAH HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI BARAT
Tumbuhnya
sistem perlindungan konsumen seiring dengan tumbuh dan berkembangnya pola
perekonomian yang makin lama makin
pesat.[1][8] Perhatian
terhadap perlindungan konsumen, terutama di Amerika Serikat (1960-1970-an)
mengalami perkembangan yang sangat signifikan da menjadi objek kajian bidang
ekonomi, sosial, politik dan hukum. Banyak sekali artikel dan buku ditulis
berkenaan dengan gerakan ini. Di Amerika Serikat bahkan pada era tahun-tahun
tersebut berhasil diundangkan banyak peraturan dan dijatuhkan putusan-putusan
hakim yang memperkuat kedudukan consumen.[2][9]
Secara
umum, sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empat tahapan.
a)
Tahapan I (1881-1914)
Kurun waktu
ini titik awal munculnya kesadaran masyarakat untuk melakukan gerakan
perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria massal akibat novel karya Upton
Sinclair berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik
pengolahan daging di Amerika Serikat yang sangat tidak memenuhi syarat-syarat
kesehatan.
b)
Tahapan II ( 1920-1940)
Pada kurun
waktu ini pula muncul buku berjudul Your Money’s Worth karya Chase dan
Schlink. Karya ini mampu menggugah konsumen atas hak-hak mereka dalam jual
beli. Pada kurun waktu ini muncul slogan: fair deal, best buy.
c)
Tahapan III (1950-1960)
Pada
dekade 1950-an muncul keinginan untuk
mempersatuakan gerakan perlindungan konsumen dalam lingkup internasional.
Dengan diprakarsai oleh wakil-wakil gerakan konsumen di Amerika Serikat.
Inggris, Belanda, Australia dan Belgia, pada 1 April 1960 berdirilah
International Organization of Consumer Union. Semula organisasi ini
berpusat di Den Haag, Belanda, lalu pindah ke London, Inggris, pada 1993. Dua
tahun kemudian IOCU mengubah namanya menjadi Consumen International (CI).
d) Tahapan
IV (pasca-1965)
Pasca 1965
sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik tingkat regional
maupun tingkat internasional. Sampai
saat ini dibentuk lima kantor regional, yakni Amerika Latin dan Karibia
berpusat di Cile, Asia Fasifik berpusat di Malasyia, Afrika Berpusat di
Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah berpusat di inggris dan negara-negara maju
juga berpusat di London, Inggris.
Sejak
ratusan tahun yang lalu, di beberapa negara Eropa seperti Inggris, Perancis dan
Jerman, sudah sangat dikenal ungkapan “jangan racuni roti tetanggamu” atau
“caveat emptor” (berhati-hatilah, konsumen). Konsep ini masih terasa sangat
bermanfaat karena kala itu jarak antara konsumen dan produsen masih dekat dan
proses perekonomian belum serumit sekarang.
John F
Kennedy dianggap sebagai pelopor gerakan konsumen modern. Tanggal 15 Maret
1963, dalam pidatonya di depan publik AS, Kennedy menjabarkan 4 (empat) hak
yang dimiliki konsumen, yaitu: the right to safety (hak atas keamanan), the
right to be informed (hak atas informasi), the right to choose (hak untuk
memilih) dan the right to be heard (hak untuk didengarkan). Untuk mengabadikan
peristiwa ini, Consumers International menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari
Hak Konsumen Sedunia. Substansi pidato JFK itu kemudian menginspirasi
International Organizations of Consumers Union (IOCU, kini berganti nama
menjadi Consumers International/CI) untuk menguraikannya menjadi 8 (delapan)
hak konsumen. Lihat: Hak dan Tanggung Jawab Konsumen.
Pada 9
April 1985, Majelis Umum PBB memasukkan hak-hak dasar konsumen tersebut ke
dalam “United Nation Guidelines for Consumer Protection”, yaitu panduan dasar
bagi negara-negara anggota PBB untuk membuat kebijakan perlindungan konsumen di
semua negara anggota PBB.
3. SEJARAH HUKUM
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM ISLAM
Perlindungan
atas Konsumen merupakan hal yang sangat penting dalam hukum Islam.Islam melihat
sebuah perlindungan konsumen bukan sebagai hubungan keperdataan semata
melainkan menyangkut kepentingan publik secara luas, bahkan menyangkut hubungan
antara manusia dengan Allah SWT. Dalam konsep hukum Islam perlindungan atas
tubuh berkait dengan hubungan vertikal (Manusia dengan Allah) dan horizontal (Sesama
manusia).
Dalam Islam
melindungi manusia dan juga masyarakat sudah merupakan kewajiban negara
sehingga melindungi konsumen atas barang-barang yang sesuai dengan kaidah Islam
harus diperhatikan.
Menurut hemat
penulis didalam islam tidak ada sejarah pergerakan perlindungan konsumen
seperti yang terdapat di Indonesia maupun Barat dan juga tidak ada aturan
secara eksplisit menyebut istilah konsumen, namun bila kita cermati beberapa
ayat Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad Saw., maka secara tidak langsung kita
akan menemukan beberapa ayat maupun hadits yang sifatnya sedikit mengarah
kepada perlindungan konsumen.
1.
Tentang Riba
“Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.[3][3]
“Dan disebabkan
mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya,
dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.[4][4]
Hadits No. 850:
Jabir
Radliyallaahu’anhu berkata: Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, pemberi makan
riba, penulisnya dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: “Mereka itu sama”. (Riwayat Muslim).[5][5]
2.
Tentang Khamar
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.[6][6]
3.
Tentang Jual Beli
Hadits No. 849:
“Ibnu Umar RA
berkata: ada seseorang mengadu kepada Rasulullah Saw bahwa ia tertipu dalam
jual beli. Lalu beliau bersabda : “Jika engkau berjual-beli katakanla: Jangan
melakukan tipu daya”. (Muttafaq
Alaihi).[7][7]
Dari beberapa
ayat Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW., yang kami tuliskan diatas
memberikan indikasi bahwa didalam islam terdapat aturan tentang perlindungan
konsumen walaupun tidak secara langsung menggunakan istilah konsumen.