Friday 5 May 2017

Tafsir dan Asbabun Nuzul Q.S. An-Nisa ayat 23



Assalamu'alaikum W.rWb.
Alhamdulillah pada kesempatan kali ini penulis akan membahas, Asbabun Nuzul (sebab diturunkan) dan tafsiran dari Q.S. An-Nisa ayat 23.
Asbabun Nuzul atau penyebab ayat ini diturunkan, Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa Ibnu Juraij bertanya kepada ‘Atha tentang “wahala ilu abna ikumulladzina min ashlabikum” (An-Nisa ayat 23) ‘Atha menjawab: “Pernah kami memperbincangkan bahwa ayat itu turun mengenai pernikahan Nabi kita Saw kepada mantan istri Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi)”. Kaum musyrikin memperasalahkannya hingga turun ayat tersebut (An-Nisa ayat 23) dan surat Al-Ahzab ayat 4 dan 40 sebagai penegasan dibenarkannya perkawinan kepada mantan istri anak angkat.
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٢٣
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Tafsir Al-Jalalin
 (Diharamkan atas kamu ibu-ibumu) maksudnya mengawini mereka dan mencakup pula nennek, baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, (dan anak-anak perempuanmu) termasuk cucu-cucumu yang perempuan terus ke bawah, (saudara-sudaramu yang perempuan) baik dari pihak bapak maupun dari ibu, (saudara-saudara bapakmu yang perempuan) termasuk pula saudara-saudara kakekmu, (saudara-saudara ibumu yang perempuan) termasuk pula saudara-saudara nenekmu, (anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan) maksudnya keponakan-keponakanmu dan termasuk pula anak-anak mereka, (ibu-ibumu yang menyusui kamu) maksudnya ibu susuan, yakni sebelum usiamu mencapai 2 tahun dan sekurang-kurangnya 5 kali susuan sebagaimana dijelaskan dalam hadis, (saudara-saudara perempuanmu sesusuan). Kemudian dalam sunnah ditambahkan anak-anak perempuan daripadanya, yaitu wanita-wanita yang disusukan oleh wanita-wanita yang telah dicampurinya, berikut saudara-saudara perempuan dari bapak dan dari ibu, serta anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuannya,berdasarkan sebuah hadis yang berbunyi, “Haram disebabkan penyusuan apa yang haram oleh sebab pertalian darah.” Riwayat Bukhari dan Muslim. (ibu-ibu istrimu, mertua dan anak-anak tirimu) jamak rabiibah yaitu anak perempuan istri dari suaminya yang lain, (yang berada dalam asuhanmu) mereka berada dalam pemeliharaan kalian; kalimat ini berkedudukan sebagai kata sifat dari lafal rabaaib, (dan istri-istrimu yang telah kamu campuri) telah kalian setubuhi, (tetapi jika kamu belum lagi mencampuri mereka, maka tidaklah berdosa kamu) mengawini anak-anak perempuan mereka, jika kamu telah menceraikan mereka, (dan bahwa kamu himpun dua orang perempuan yang bersaudara) baik saudara dari pertalian darah maupun sepersusuan dan menghimpun seorang perempuan dengan seorang perempuan bapaknya atau saudara perempuan ibunya tetapi diperbolehkan secara “tukar lapik” atau “turun ranjang” atau memiliki kedua mereka sekaligus asal yang dicampuri itu hanya salah seorang di antara mereka (kecuali) atau selain (yang telah terjadi di masa lalu) yakni di masa jahiliah sebagian dari apa yang disebutkan itu, maka kamu tidaklah berdosa karenanya. (Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).

Monday 1 May 2017

FIKIH SIYASAH



ABD AL-WAHHAB KHALLAF
         Pakar hukum islam ini adalah professor hokum islam pada Fakultas hukum Universitas Cairo di Mesir. Dalam bukunya yang berjudul  Al-siyasat al-syar’iyyah, ia membahas dasar-dasar politik dan pemerintahan dalam perspektif islam. Pembahasannya ia kaitkan dengan upaya pelaksanaan prinsip-prinsip syariat islam dan kemaslahatan ummat. Artinya untuk melaksanakan dua aspek ini dari segi siyasah syar’iyah, memerlukan adanya lembaga sebagai instrument pelaksananya, yaitu pemerintahan.
          Menurut Khallaf, bentuk suatu pemerintahan tercermin pada batas-batas hubungan kuat antara penguasa dan rakyat, serta pertimbangan antara kekuasaan pemerintah dan kebebasan rakyat. Berdasarkan keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadist, pemerintahan dalam islam menghendaki bentuk dusturiyat (konstitusional), dan bukan istibdadiyat (tirani).
           Aspek-aspek penting asas siyasah dusturiyah menurut khallaf, adalah: bentuk pemerintahan; hak-hak individu, dan bidang-bidang kekuasaan. Islam menghendaki pemerintahan konstitusional, sebab urusan pemerintahan bukan urusan dan hak monopoli orang tertentu, melainkan urusan dan hak umat atau rakyat. Ini didasarkan pada perintah Allah kepada orang-orang muslim agar bermusyawarah di antara mereka.
           Karena itu, kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan bukan hak Quraisy dan bukan lainnya. Tidak ada nash dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi yang memerintahkan kaum muslimin agar kepemimpinan pasca Rasul berada di tangan keluarganya atau individu-individu tertentu. Tetapi diserahkan kepada kehendak ummat untuk memilih orang-orang yang akan memegang  kepemimnan tertinggi. Kesimpulan ini ia perkuat pula dengan tradisi pengangkatan Khulafa al-Rasyidin melalui pemilihan dan dibaiat oleh umat.
            Karena itu pula, pertanggungjawaban pemerintah ada pada ummat. Hal ini dijelaskan oleh nash yang menuntun rakyat agar menggunakan hak berpendapat untuk memberi nasehat atau control social terhadap wulat al-amri (pemegang kekuasaan). Nabi bersabda: “sesungguhnya Allah menyukai bagi kamu tiga perkara dan membenci bagi kamu tiga perkara: Dia menyukai agar kamu menyembahNya dan jangan menyekutukanNya, kamu berpegang kepada agama Allah dan jangan berpecah belah, dan kamu menasehati orang-orang yang ditakdirkan Allah mengurus urusan kamu.” Ini mengisyaratkan bahwa syariat menjamin adanya kebebasan berpendapat.  Pertanggungjawaban pemerintah kepada ummat dilakukan dengan jalan musyawarah. Pelaksanaan musyawarah dan nasehat agar sempurna bisa dilakukan oleh sekelompok orang tertentu, bila seluruh rakyat tidak bisa melakukannya.
               Penjelasan tersebut mengandung makna, sendi-sendi pemerintahandalam islam adalah syura sebagai hokum dasar. Mengenai rinciannyadiserahkan kepada ummat untuk menetapkan sistemnya yang sesuai dengan keadaan, menentukan system pemilihan, syarat-syarat bagi orang yang akan dipilih, dan teknis pelaksanaanya. Sendi kedua dan ketiga adalah adanya pertanggungjawaban kepala Negara, dan kewenangan kepala Negara berasal dari baiat rakyat. Apa dan bagaimana system dan taknis pelaksanaan kedua sendi ini diserahka kepada ummat. Sendi-sendi ini menujukkan bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan.
              Khallaf lebih lanjut menjelaskan, dengan sendi-sendi tersebut maka urusan-urusan kaum muslimin harus dimusyawarahkan. Demikian pula hak menentukan kepala Negara ada pada rakyat yang didelegsikan kepada lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd untuk melaksanakannya. Wewenang yang diberikan kepada kepala Negara adalah memelihara Negara dan mengatur urusan dunia. Namun kedudukan dan perannya ini tidak berarti bahwa kepala Negara memperoleh keuasaan dari Tuhan. Sebab, kewenangannya mengurus dua hal itu berasal  dari rakyat.
               Dalam pemerintahan islam yang dikendalikan oleh undang-undang, menurut khallaf, kebebasan perorangan dan persamaan individu-individu dalam hak-hak sipil dan politik harus dijamin oleh Negara. Hak-hak kebebasan perorangan terdiri dari kebebasan yang dibatasi oleh perintah dan larangan undang-undang baik yang berasal dari syariat agama maupun yang dibuat oleh penguasa, kebebasan atas tempat tinggal, kebebasan memiliki, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, kebebasan belajar. Sedangakan kebebasan individu-individu dalam hak-hak sipil dan politik, setiap individu sama dalam ketaatan terhadap kekuasaan undang-undang, tidak ada yang kebal hokum, kepala Negara dan pejabat serta rakyat sama kedudukannya di depan hokum, tidak boleh seseorang memperoleh hak-hak istimewa. Dan setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan mulai dari yang tertinggi sampia kepada yang rendah. Ini semua merupakan bagian dari ajaran islam yang dapat di rujuk kepada al-Qur’an dan hadits.
            Oleh karena pemerintahan dalam islam menghendaki pemerintahan konstitusional yang bersendikan musyawarah, kewenangan kepala Negara berasal dari rakyat, dan adanya pertanggungjawaban kepala Negara, maka konsekuensinya, kata khallaf, harus ada pembagian kekuasaan. Ia menyebutkan, kekuasaan Negara dapat  didelegasikan kepada :
1.       Kekuasaan membuat undang-undang ( al-sulthat al-tasyri’iyat )
2.       Kekuasaan peradilan atau kehakiman ( al-sulthat al-qadhaiyat )
3.       Kekuasaan melaksanakan undang-undang ( al-sulthat al-tanfiziyat ).
Masing-masing istilah ini dapat diidentikkan dengan istilah-istilah kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, dan kekuasaan eksekutif.
              Adapun sumber hukum bagi pemerintahan islam terdiri dari hukum dasar Ilahi yang disyariatkan oleh Allah dalam kitabNya, dan yang ditetapkan oleh lisan RasulNya. Sumber ketiga adalah hukum produk ijtihad penguasa ( wulat al-amr ) yang tidak bertentangan dengan hukum dasar untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat. Sebagaimana ketetapan hukum dasar, hukum hasil ijtihad wulat al-amr  pun bersifat memaksa dan mengikat untuk dipatuhi penguasa dan aparatnya serta rakyat selama ia tidak bertentangan dengan substansi hukum dasar.










DAFTAR PUSTAKA
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, ( Jakarta = PT RajaGrafindo Persada, Ed. 1., Cet. 2, 1995 )

Baca juga :

- Pengertian, Tujuan dan Wewenang Peradilan
- Pengertian, Dasar, Tujuan dan Larangan Perkawinan
- Sumber Hukum Islam dan Pengertiannya
- Pengertian dan Hukum Acara Pidana