ABD
AL-WAHHAB KHALLAF
Pakar hukum islam ini adalah professor
hokum islam pada Fakultas hukum Universitas Cairo di Mesir. Dalam bukunya yang
berjudul Al-siyasat al-syar’iyyah, ia membahas dasar-dasar politik dan
pemerintahan dalam perspektif islam. Pembahasannya ia kaitkan dengan upaya
pelaksanaan prinsip-prinsip syariat islam dan kemaslahatan ummat. Artinya untuk
melaksanakan dua aspek ini dari segi siyasah syar’iyah, memerlukan adanya
lembaga sebagai instrument pelaksananya, yaitu pemerintahan.
Menurut Khallaf, bentuk suatu
pemerintahan tercermin pada batas-batas hubungan kuat antara penguasa dan
rakyat, serta pertimbangan antara kekuasaan pemerintah dan kebebasan rakyat.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadist, pemerintahan dalam islam
menghendaki bentuk dusturiyat (konstitusional),
dan bukan istibdadiyat (tirani).
Aspek-aspek penting asas siyasah
dusturiyah menurut khallaf, adalah: bentuk pemerintahan; hak-hak individu, dan
bidang-bidang kekuasaan.
Islam menghendaki pemerintahan konstitusional, sebab urusan pemerintahan bukan
urusan dan hak monopoli orang tertentu, melainkan urusan dan hak umat atau
rakyat. Ini didasarkan pada perintah Allah kepada orang-orang muslim agar
bermusyawarah di antara mereka.
Karena itu, kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan bukan hak Quraisy
dan bukan lainnya. Tidak ada nash dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi yang
memerintahkan kaum muslimin agar kepemimpinan pasca Rasul berada di tangan
keluarganya atau individu-individu tertentu. Tetapi diserahkan kepada kehendak
ummat untuk memilih orang-orang yang akan memegang kepemimnan tertinggi.
Kesimpulan ini ia perkuat pula dengan tradisi pengangkatan Khulafa al-Rasyidin
melalui pemilihan dan dibaiat oleh umat.
Karena itu pula, pertanggungjawaban
pemerintah ada pada ummat. Hal ini dijelaskan oleh nash yang menuntun rakyat agar menggunakan hak berpendapat untuk
memberi nasehat atau control social terhadap wulat al-amri (pemegang kekuasaan). Nabi bersabda: “sesungguhnya
Allah menyukai bagi kamu tiga perkara dan membenci bagi kamu tiga perkara: Dia
menyukai agar kamu menyembahNya dan jangan menyekutukanNya, kamu berpegang
kepada agama Allah dan jangan berpecah belah, dan kamu menasehati orang-orang
yang ditakdirkan Allah mengurus urusan kamu.”
Ini mengisyaratkan bahwa syariat menjamin adanya kebebasan berpendapat. Pertanggungjawaban pemerintah kepada ummat
dilakukan dengan jalan musyawarah. Pelaksanaan musyawarah dan nasehat agar
sempurna bisa dilakukan oleh sekelompok orang tertentu, bila seluruh rakyat
tidak bisa melakukannya.
Penjelasan tersebut mengandung
makna, sendi-sendi pemerintahandalam islam adalah syura sebagai hokum dasar. Mengenai rinciannyadiserahkan kepada
ummat untuk menetapkan sistemnya yang sesuai dengan keadaan, menentukan system
pemilihan, syarat-syarat bagi orang yang akan dipilih, dan teknis
pelaksanaanya. Sendi kedua dan ketiga adalah adanya pertanggungjawaban kepala
Negara, dan kewenangan kepala Negara berasal dari baiat rakyat. Apa dan
bagaimana system dan taknis pelaksanaan kedua sendi ini diserahka kepada ummat.
Sendi-sendi ini menujukkan bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan.
Khallaf lebih lanjut menjelaskan,
dengan sendi-sendi tersebut maka urusan-urusan kaum muslimin harus
dimusyawarahkan. Demikian pula hak menentukan kepala Negara ada pada rakyat
yang didelegsikan kepada lembaga ahl
al-hall wa al-‘aqd untuk melaksanakannya. Wewenang yang diberikan kepada
kepala Negara adalah memelihara Negara dan mengatur urusan dunia. Namun
kedudukan dan perannya ini tidak berarti bahwa kepala Negara memperoleh
keuasaan dari Tuhan. Sebab, kewenangannya mengurus dua hal itu berasal dari rakyat.
Dalam pemerintahan islam yang
dikendalikan oleh undang-undang, menurut khallaf, kebebasan perorangan dan
persamaan individu-individu dalam hak-hak sipil dan politik harus dijamin oleh
Negara. Hak-hak kebebasan perorangan terdiri dari kebebasan yang dibatasi oleh
perintah dan larangan undang-undang baik yang berasal dari syariat agama maupun
yang dibuat oleh penguasa, kebebasan atas tempat tinggal, kebebasan memiliki,
kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, kebebasan belajar. Sedangakan
kebebasan individu-individu dalam hak-hak sipil dan politik, setiap individu sama
dalam ketaatan terhadap kekuasaan undang-undang, tidak ada yang kebal hokum,
kepala Negara dan pejabat serta rakyat sama kedudukannya di depan hokum, tidak
boleh seseorang memperoleh hak-hak istimewa. Dan setiap warga Negara mempunyai
hak yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan mulai dari yang
tertinggi sampia kepada yang rendah. Ini semua merupakan bagian dari ajaran
islam yang dapat di rujuk kepada al-Qur’an dan hadits.
Oleh karena pemerintahan dalam
islam menghendaki pemerintahan konstitusional yang bersendikan musyawarah,
kewenangan kepala Negara berasal dari rakyat, dan adanya pertanggungjawaban
kepala Negara, maka konsekuensinya, kata khallaf, harus ada pembagian
kekuasaan. Ia menyebutkan, kekuasaan Negara dapat didelegasikan kepada :
1. Kekuasaan
membuat undang-undang ( al-sulthat
al-tasyri’iyat )
2. Kekuasaan
peradilan atau kehakiman ( al-sulthat
al-qadhaiyat )
3. Kekuasaan
melaksanakan undang-undang ( al-sulthat
al-tanfiziyat ).
Masing-masing istilah ini dapat
diidentikkan dengan istilah-istilah kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif,
dan kekuasaan eksekutif.
Adapun sumber hukum bagi
pemerintahan islam terdiri dari hukum dasar Ilahi yang disyariatkan oleh Allah
dalam kitabNya, dan yang ditetapkan oleh lisan RasulNya. Sumber ketiga adalah
hukum produk ijtihad penguasa ( wulat
al-amr ) yang tidak bertentangan dengan hukum dasar untuk mewujudkan
kemaslahatan rakyat.
Sebagaimana ketetapan hukum dasar, hukum hasil ijtihad wulat al-amr pun bersifat
memaksa dan mengikat untuk dipatuhi penguasa dan aparatnya serta rakyat selama
ia tidak bertentangan dengan substansi hukum dasar.
DAFTAR PUSTAKA
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah,
Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, ( Jakarta = PT RajaGrafindo Persada, Ed. 1.,
Cet. 2, 1995 )
- Pengertian, Tujuan dan Wewenang Peradilan
- Pengertian, Dasar, Tujuan dan Larangan Perkawinan
- Sumber Hukum Islam dan Pengertiannya
- Pengertian dan Hukum Acara Pidana
No comments:
Post a Comment