A. Pengertian Lembaga Negara
Untuk memahami
pengertian lembaga atau organ negara secara lebih dalam, kita dapat
mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the
State-Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans Kelsen
menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal
order is an organ”. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang
ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ.
Artinya, organ
negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk
organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula
disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating)
dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). “These
functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying character, are all
ultimately aimed at the execution of a legal sanction”.
Menurut Kelsen,
parlemen yang menetapkan undang-undang dan warga negara yang memilih para
wakilnya melalui pemilihan umum sama-sama merupakan organ negara dalam arti
luas. Demikian pula hakim yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana
yang menjalankan hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan, adalah juga
merupakan organ negara. Pendek kata, dalam pengertian yang luas ini, organ
negara itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu
dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan publik
atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat umum
(public officials).
Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga menguraikan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materiil. Individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang tertentu (...he personally has a specific legal position). Suatu transaksi hukum perdata, misalnya, kontrak, adalah merupakan tindakan atau perbuatan yang menciptakan hukum seperti halnya suatu putusan pengadilan.
Lembaga negara
terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan
non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau
karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan
kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden. Hirarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat
pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan
organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan organ UU,
sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah
lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di
dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan
Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara,
ada dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie.
Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya;
organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm) ,
sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya.
Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada
pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ
yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur
dengan peraturan yang lebih rendah.
B.
Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945
Jika dikaitkan dengan hal tersebut di atas, maka dapat
dikemukakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang dari 34 organ yang disebut
keberadaannya dalam UUD 1945. Ke-34 organ atau lembaga tersebut adalah:
1.
Majelis
permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi
judul "Majelis permusyawaratan Rakyat". Bab III ini berisi dua pasal,
yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas tiga
ayat;
2.
Presiden
yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai dari Pasal 4 ayat (1)
dalam pengaturan mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;
3.
Wakil
Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD
1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, "Dalam melakukan
kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden";
4.
Menteri dan
Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V UUD 1945, yaitu pada
Pasal17 ayat(1), (2), dan (3);
5.
Menteri Luar
Negeri sebagai menteri triumpirat yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3)
UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan
sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu
yang bersamaan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
6.
Menteri
Dalam Negeri sebagai triumpirat bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri
dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
7.
Menteri
Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam
Negeri ditentukan sebagai menteri triumpirat menurut Pasal 8 ayat (3)
UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara sendiri-sendiri, karena dapat saja
terjadi konflik atau sengketa kewenangan konstitusional di antara sesama
mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya;
8.Dewan
Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berbunyi, "Presiden membentuk suatu dewan
pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden,
yang selanjutnya diatur dalam undang-undang";
9.
Duta seperti
diatur dalam Pasal13 ayat (1) dan (2);
10. Konsul seperti yang diatur dalam Pasal13 ayat (1);
11. Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18
ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
12. Gubemur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur
dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
13. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang
diatur dalam Pasal18 ayat 3 UUD 1945;
14. Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
15. Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang
diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD 1945;
16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang
diatur dalam Pasal18 ayat (3) UUD 1945;
17. Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
18. Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang
diatur dalam Pasal18 ayat (4) UUD 1945;
19. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang
diatur oleh Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
20. Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau
istimewa seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan
undang-undang. Karena kedudukannya yang khusus dan diistimewakan, satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa ini diatur tersendiri
oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta,
Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, serta
Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai kekhususan atau
keistimewaannya itu diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, pemerintahan
daerah yang demikian ini perlu disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau
organ yang keberadaannya diakui dan dihormati oleh negara.
21. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab
VII UUD 1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B;
22. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab
VIIA yang terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 220;
23. Komisi Penyelenggaran Pemilu yang diatur dalam Pasal
22E ayat (5) UUD 1945 yang menentukan bahwa pemilihan umum harus
diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Nama "Komisi Pemilihan Umum" bukanlah nama yang ditentukan oleh UUD
1945, melainkan oleh Undang-Undang;
24. Bank sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 230,
yaitu "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan
undang-undang". Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum menentukan nama bank
sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah Bank
Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang
berdasarkan kenyataan yang diwarisi dari sejarah di masa lalu.
25. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri
dalam Bab VIIIA dengan judul "Badan Pemeriksa Keuangan", dan terdiri
atas 3 pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G (2
ayat);
26. Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam
Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
27. Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur
keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945;
28. Komisi Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal
24B UUD 1945 sebagai auxiliary
organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
29. Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri
dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab
XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
30. Angkatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
31. Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
32. Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
33. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga
diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945;
34. Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan
kehakiman seperti kejaksaan diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945
yang berbunyi, "Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang".
Jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yang ditentukan
dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945
tersebut dapat pula membuka pintu bagi lembaga-lembaga negara lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang tidak secara eksplisit
disebut dalam UUD 1945. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menentukan, "Badan-badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang". Artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam
UUD 1945, masih ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang
mempunyai fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain
yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung yang semula dalam
rancangan Perubahan UUD 1945 tercantum sebagai salah satu lembaga yang
diusulkan diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi tidak mendapat
kesepakatan, sehingga pengaturannya dalam UUD 1945 ditiadakan.
Namun, karena yang disebut dalam Pasal 24 ayat (3)
tersebut di atas adalah badan-badan, berarti jumlahnya lebih dari satu.
Artinya, selain Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang fungsinya
juga berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi
penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Lembaga-lembaga dimaksud
misalnya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini,
seperti halnya Kejaksaan Agung, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam
UUD 1945, tetapi sama-sama memiliki constitutional importance dalam
sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945.
Misalnya, mengenai keberadaan Komnas Hak Asasi
Manusia. Materi perlindungan konstitusional hak asasi manusia merupakan materi
utama setiap konstitusi tertulis di dunia. Untuk melindungi dan mempromosikan
hak-hak asasi manusia itu, dengan sengaja negara membentuk satu komisi yang
bernama Komnasham (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Artinya, keberadaan
lembaga negara bernama Komnas Hak Asasi Manusia itu sendiri sangat penting bagi
negara demokrasi konstitusional. Karena itu, meskipun pengaturan dan
pembentukannya hanya didasarkan atas undang-undang, tidak ditentukan sendiri
dalam UUD, tetapi keberadaannya sebagai lembaga negara mempunyai apa yang
disebut sebagai constitutional importance yang sama dengan
lembaga-lembaga negara lainnya yang disebutkan eksplisit dalam UUD 1945.
Sama halnya dengan keberadaan Kejaksaan Agung dan
kepolisian negara dalam setiap sistem negara demokrasi konstitusional ataupun
negara hukum yang demokratis. Keduanya mempunyai derajat kepentingan (importance)
yang sama. Namun, dalam UUD 1945, yang ditentukan kewenangannya hanya
kepolisian negara yaitu dalam Pasal 30, sedangkan Kejaksaan Agung sama sekali
tidak disebut. Hal tidak disebutnya Kejaksaan Agung yang dibandingkan dengan
disebutnya Kepolisian dalam UUD 1945, tidak dapat dijadikan alasan untuk
menilai bahwa kepolisian negara itu lebih penting daripada Kejaksaan Agung.
Kedua-duanya sama-sama penting atau memiliki constitutional importance yang
sama. Setiap yang mengaku menganut prinsip demokrasi konstitusional atau negara
hukum yang demokratis, haruslah memiliki perangkat kelembagaan kepolisian
negara dan kejaksaan sebagai lembaga-lembaga penegak hukum yang efektif.
C. Hubungan
Lembaga-Lembaga Negara
1. Hubungan
Presiden dengan DPR dan DPD dalam pembentukan UU:
a. Kekuasaan untuk membentuk UU
berada pada DPR sebagaimana di tuangkan dalam pasal 20 ayat 1. rancangagn UU
bisa dari RPR maupun dari Presiden yang disusun berdasarkan program legislasi
daerah(Proglegnas).
b. Masalah masalah yang dibahas
antara lain pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya serta berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah dengan mengikutsertakan DPD.
c. Dalam hubungan dengan
DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU yang berkaitan dengan
bidang tertentu, DPD memberikan pertimbangan atas RUU tertentu, dan
menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR.
2. Hubungan
Presiden dengan DPR dan DPD dalam penyusunan APBN adalah :
RUU
APBN diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD, dalam pelaksanaan UU APBD preseden diawasi oleh DPR dan
diperiksa oleh BPK sebagai pertanggung jawab keuangan negara hasil pemeriksaan
diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.
3. Hubungan
BPK dengan DPR, DPD dan DPRD dalam pelaksanaan pengawasan adalah :
Salah
satu fungsi yang dimiliki DPR adalah fungsi peengawasan, pengawasan dilakukan
terhadap pelaksaan UU, APBN, dan kebijakan pemerintah serta DPR membahas dan
menindaklanjuti hasil pengawasan yang diahukan DPD serta meenerima hasil pemeriksaan
keuangan negara dari BPK.
Tugas
dan wewenang DPD yang berkaitan dengan DPR adalah dalam hal mengajukan RUU
tertentu kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu bersama dengan DPR, memberika
pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan
pelaksanaan UU tertentu pada DPR. Dalam kaitan itu, DPD sebagai lembaga
perwakilan yang mewakili daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut adalah
dengan mengedepankan kepentingan daerah. Dalam hubungannya dengan BPK, DPD
berdasarkan ketentuan UUD menerima hasil pemeriksaan BPK dan memberikan
pertimbangan pada saat pemilihan anggota BPK. Ketentuan ini memberikan
hak kepada DPD untuk menjadikan hasil laporan keuangan BPK sebagai bahan
dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, dan untuk turut
menentukan keanggotaan BPK dalam proses pemilihan anggota BPK. Disamping itu,
laporan BPK akan dijadikan sebagai bahan untuk mengajukan usul dan pertimbangan
berkenaan dengan RUU APBN.
4. MPR dengan DPR, DPD,
dan Mahkamah Konstitusi
Keberadaan
MPR dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri yang khas dalam sistem
demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan
anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan
rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota
DPR untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota
DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah
tidak terabaikan. Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, maka pemahaman wujud
kedaulatan rakyat tercermin dalam tiga cabang kekuasaan yaitu lembaga
perwakilan, Presiden, dan pemegang kekuasaan kehakiman.
Sebagai
lembaga, MPR memiliki
kewenangan mengubah dan menetapkan UUD,
memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan
jabatan Presiden dan/atau Wakil
Presiden, melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden, serta kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut UUD.
Dalam
konteks pelaksanaan kewenangan, walaupun anggota DPR mempunyai jumlah yang
lebih besar dari anggota DPD, tapi peran DPD dalam MPR sangat besar misalnya
dalam hal mengubah UUD yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan
memberhentikan Presiden yang harus dihadiri oleh 3/4 anggota MPR maka
peran DPD dalam kewenangan tersebut merupakan suatu keharusan.
Dalam
hubungannya dengan DPR, khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR
berkaitan dengan kewenangan
untuk memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden, proses tersebut
hanya bisa dilakukan apabila
didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR.
Selanjutnya,
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu wewenang Mahkamah
Konstitusi adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan UUD. Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara maka
apabila MPR bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki
kewenangan yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus diselesaikan
oleh Mahkamah Konstitusi.
5. Hubungan
Presiden dengan DPR dan Mahkamah Agung dalam memberikan pertimbangan adalah :
Presiden dalam melaksanaan kekuasaan sebagai selaku
kepala negara mendapat pertimbangan antara lain :
a. Mengangkat duta dgn
memperhatikan pertimbangan DPR.
b. Menerima penempatan duta
negara lain dgn pertimbangan DPR.
c. memberi amnesti dan abolisi
dgn memperhatikan pertimbangan DPR.
d. memberi grasi dan abolisi dgn
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
6. Hubungan
presiden dengan komisi yudisial dan DPR dalam pengangkatan hakim agung adalah :
Hubungan
ini terjadi ketika pengisian anggota hakim agung pada mahkamah agung yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR selanjutnya disampaikan kepada
Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim agung.
7. Hubungan
DPR Mahkamah Konstitusi, dan MPR dalam pemberhentian Presiden atau wakil
presiden adalah :
Apabila DPR berpendapat Presiden atau wakil presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghiatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan dan tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela.
8. Mahkamah Konstitusi
dengan Presiden, DPR, BPK, DPD, MA, KY
Kewenangan
Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) adalah
untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap
UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Disamping itu, MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat
DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Dengan kewenangan tersebut, jelas bahwa MK memiliki hubungan tata
kerja dengan semua lembaga negara yaitu apabila
terdapat sengketa antar lembaga negara atau apabila
terjadi prosesjudicial review yang diajukan oleh lembaga negara pada MK.
9.
Hubungan Komisi Yudisial dan MA
Pasal
24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan bahwa calon hakim agung
diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan. Keberadaan
Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan
ini bahwa jabatan hakim merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati,
dijaga, dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga
bersifat mandiri. Dalam
hubungannya dengan MA, tugas
KY hanya dikaitkan dengan fungsi pengusulan pengangkatan
Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya, seperti
hakim MK tidak dikaitkan dengan KY.
mntap...artikelx bgus skali bro
ReplyDeletemkasih gan
Deleteartikel yg sgt bgus
ReplyDelete