Wednesday 5 October 2016

“ SYARIAH DENGAN KEMASLAHATAN “



A. LATAR BELAKANG

Di tengah semakin menguatnya mainstream ”penegakkan syariah dan Khilafah”, muncul
”propaganda-propaganda aneh” yang tidak pernah dikenal oleh kaum Muslim sebelumnya.
Propaganda-proganda busuk itu sengaja disebarkan ke tengah-tengah kaum Muslim untuk memalingkan umat Islam dari penerapan syariat Islam yang benar, sekaligus untuk menjustifikasi realitas rusak yang telah menyimpang dari syariat Islam. Salah satu propaganda busuk itu adalah ” di dalam al-Quran dan sunnah, syariat tidak selamanya dimaknai dengan hukum ; syariat itu adalah merealisasikan kemashlahatan, dimana ada mashlahat di situ ada syariat ”.
Propaganda ini mengesankan bahwa hukum Islam ditetapkan berdasarkan peraihan mashlahat dan penolakan kerusakan ( jalb al-mashaalih wa dar`u al-mafaasid ). Dengan kata lain, ada tidaknya hukum Islam ( syariat ) tergantung pada ada atau tidak adanya mashlahat. Hukum syariat bisa saja dianulir jika tidak bisa mewujudkan kemashlahatan, sebaliknya, perkara-perkara yang jelas-jelas haram menurut hukum syariat, bisa saja dianggap sebagai kewajiban syariat jika bisa merealisasikan kemashlahatan.

B.  PEMBAHASAN

1.   PENGERTIAN SYARIAH

Istilah syariah merupakan kata yang lumrah beredar di kalangan masyarakat Muslim dari masa awal Islam, namun yang mereka gunakan selalu syara’i ( bentuk jamak ) bukan syariah ( bentuk mufrad ). Riwayat-riwayat menunjukkan bahwa orang-orang yang baru masuk Islam dan datang kepada Rasulullah dari berbagai pelosok Jazirah Arab, meminta kepada Rasulullah agar mengirim seseorang kepada mereka untuk mengajarkan syara’i Islam. Sedangkan istilah syariah hampir-hampir tidak pernah digunakan pada masa awal Islam. Dari perkembangan Makna, istilah syariah ini diperkenalkan dengan perubahan Makna yang menyempit untuk membawakan Makna yang khusus, yakni ” Hukum Islam ” pada masa kemudian.

Syariah adalah kosa kata bahasa Arab yang secara harfiah berarti ”sumber air” atau ”sumber kehidupan”, Dalam Mukhtar al-Sihah diungkapkan sebagai berikut: Syariah adalah sumber air dan ia adalah tujuan bagi orang yang akan minum. Syariah juga sesuatu yang telah ditetapkan Allah swt. kepada hamba-Nya berupa agama yang telah disyariahkan kepada mereka. Orang-orang Arab menerapkan istilah ini khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap dan diberi tanda yang jelas terlihat mata. Jadi, kata demikian ini berarti jalan yang jelas kelihatan atau ”jalan raya” untuk diikuti. Al-Qur’an menggunakan kata syirah dan syariah dalam arti agama, atau dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan Allah bagi manusia. Syariah sering digunakan sebagai senonim dangan kata din dan millah yang berMakna segala peraturan yang berasal dari Allah swt. yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis yang bersifat qat’I atau jelas nasnya.



2.   DEVINISI SYARIAH

Pada dasarnya, pemaknaan kata syarii’ah harus dikembalikan kepada waadli’ al-lughah ( pembuat ahasa ) kata tersebut, yakni orang Arab. Sebab, kata al-syarii’ah adalah lafadz bahasa Arab yang digunakan oleh orang Arab untuk menunjukkan makna tertentu.
Pemaknaan atas lafadz tersebut tidak menerima ijtihad atau istinbath, namun cukup merujuk kepada makna yang disasar oleh orang Arab.

3.   HUBUNGAN SYARIAH DENGAN KEMASLAHATAN

Di kalangan ulama, pembahasan mengenai tema misi ajaran Islam yang dibawa Rasulullahn, populer dengan istilah jalbul-mashâlih dan dar‘ul-mafasid.[4]
Mashalih jamak dari kata mashlahah yang bermakna kebaikan. Dan mafâsid jamak dari kata mafsadah yang diartikan oleh Ibnu Manzhur t dengan makna al-madharrah (bahaya) lawan dari ash- shalâh (kebaikan).
Pengertiannya secara global, yaitu mendatangkan seluruh kebaikan dan menghindarkan kerusakan-kerusakan. Tidak ada kebaikan bagi umat manusia, kecuali Islam telah menetapkan perintah dan anjuran padanya. Dan tiada keburukan ataupun kerusakan yang mengancam manusia, melainkan sudah ditetapkan peringatan dan larangan terhadapnya.
Misi di atas, merupakan misi seluruh para nabi yang diutus oleh Allah Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnnya tiada seorang nabi sebelumku, melainkan ia wajib menunjuki umatnya kepada kebaikan yang ia ketahui dan memperingatkan mereka dari keburukan yang ia ketahui untuk mereka”. [HR Muslim]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang peran Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi sekalian alam

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. [Al- Anbiya :107]

Terkadang, mashalih disebut dengan bahasa al-khair (kebaikan), an-naf’u (kemanfaatan) dan al-hasanaat (kebaikan-kebaikan). Sedangkan mafâsid, suatu waktu diungkapkan oleh syarî’at dengan bahasa asy-syarru (kejelekan), adh-dharru (bahaya) dan as-sayyi-ât (keburukan-keburukan).
Demikian subtansi ajaran Islam, yaitu terletak pada dua point tersebut, yakni menghadirkan kebaikan-kebaikan dan melenyapkan keburukan-keburukan. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu sering mengulang-ulang statemen ini di dalam kitab-kitab beliau. Misalnya, beliau mengatakan: “Aturan syari’at datang untuk menghasilkan kemaslahatan-kemaslahatan dan menyempurnakannya, dan meniadakan keburukan-keburukan dan menguranginya”

C. KESIMPULAN

1.      Kata ”syarii’ah Islam” selalu mengandung konotasi hukum atau aturan Islam. Pasalnya kata ini memiliki hakekat ’urfiyyah, sehingga pemaknaannya harus sejalan dengan ’urf (kebiasaan) pengguna bahasa Arab, yakni, aturan yang ditetapkan Allah swt kepada hambaNya untuk mengatur amal perbuatannya.
  1. Pada dasarnya, syariat Islam bila diterapkan secara kamil, syamil, dan mutakamil akan membawa mashlahat bagi umat manusia. Kemashlahatan datang ketika hukum Islam diterapkan, bukan sebaliknya, penetapan dan penerapan huum Islam tergantung ada tidaknya kemashahatan.
  2. Kemashlahatan bukanlah ’illat pensyariatan hukum Islam, baik secara parsial maupun menyeluruh. Pasalnya, tidak ada satupun dalil yang mendasari perkara ini. Jika ada sebagian pihak berusaha menyodorkan dalil, sesungguhnya dalil-dalil tersebut tidak mengandung ’illat, namun hanyalah natijah atau hikmah hukum. Sholat misalnya, jika dilaksanakan dengan benar bisa mencegah seseorang dari kekejian dan kemungkaran. Namun mencegah kekejian dan kemungkaran bukanlah ’illat pensyariatan sholat. Seandainya ’illah pensyariatan sholat adalah ”mencegah kekejian dan kemungkaran”, tentunya jika seseorang telah mampu mencegah dirinya dari tindak keji dan mungkar, niscaya ia tidak perlu lagi sholat. Sebab, al-’illatu taduuru ma’a ma’luul wujuudan wa ’adaman (’illat itu beredar dengan ada atau tidak adanya yang di’illati).

5 comments: